PERILAKU MASYARAKAT MENGHADAPI MEA
Dalam KTT Association of
Southeast Asian Nation (ASEAN) ke-9 yang diselenggarakan di Provinsi Bali tahun
2003, antar seluruh kepala negara anggota ASEAN telah menyepakati pembentukan
komunitas ASEAN dengan dideklarasikannya Bali concord II dalam KTT ASEAN tersebut.
Dengan adanya komunitas yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini,
akan terjadi perdagangan barang, jasa, modal dan investasi yang bergerak bebas
tanpa halangan secara geografis. Tanpa halangan secara geografis tersebut,
diharapkan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini menjadi merata dan ASEAN akan
menjadi kawasan ekonomi yang berdaya saing karena menjelma menjadi pasar
tunggal dan kesatuan basis produksi sehingga ASEAN dapat meningkatkan kemampuan
untuk berintegrasi dengan perekonomian dunia secara global. MEA sudah berlaku
sejak Akhir Tahun 2015 Kemarin hingga saat ini Presiden JOKO WIDODO
mengeluarkan 10 Kebijakan ekenomi semasa jabatannya untuk mendukung Proses
terlaksananya Masyarakat Ekonomi Asean atau yang sering kita sebut dengan MEA .
Kesiapan Indonesia sangat diperlukan menghadapi MEA bila tidak ingin Negara
Indonesia akan menjadi pasar bagi negara ASEAN lainnya. Kesiapan Indonesia diperlukan
tidak hanya pada proteksi produk dalam negeri namun juga pada sisi dunia
ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan, definisi ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa
kerja. Bekerja merupakan cara manusia mendapatkan harkat dan martabatnya
sebagai manusia meskipun selalu harus dihadapkan dengan kenyataan terbatasnya
lapangan kerja di negara ini. Padahal bila mengkristalisasi tujuan kedua dari
tujuan nasional dalam UUD NKRI Tahun 1945, maka akan bisa dimaknai bahwa negara
bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan sehingga hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak adalah jaminan sekaligus hak konstitusional setiap
warga negara karena dengan bekerja akan dapat meningkatkan kesejahteraan
seseorang.
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk paling banyak di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan penduduk
Indonesia yang terus meningkat mengakibatkan jumlah angkatan kerja juga terus
meningkat setiap tahunnya di tengah kesempatan kerja yang terbatas karena pertumbuhan
ekonomi belum mampu menyerapangkatan kerja tersebut masuk ke dalam pasar kerja.
MEA yang akan dimulai awal tahun depan tersebut tentu akan memberikan dampak
positif dan negatif bagi negara Indonesia. Dampak positifnya dengan adanya MEA,
tentu akan memacu pertumbuhan investasi baik dari luar maupun dalam negeri
sehingga akan membuka lapangan pekerjaan baru. Selain itu, penduduk Indonesia
akan dapat mencari pekerjaan di negara ASEAN lainnya dengan aturan yang relatif
akan lebih mudah dengan adanya MEA ini karena dengan terlambatnya perekonomian
nasional saat ini dan didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
pengangguran per februari 2014 dibandingkan Februari 2013 hanya berkurang
50.000 orang. Padahal bila melihat jumlah pengguran tiga tahun terakhir, per
Februari 2013 pengangguran berkurang 440.000 orang, sementara pada Februari
2012 berkurang 510.000 orang, dan per Februari 2011 berkurang sebanyak 410.000
orang (Koran Sindo,Selasa,6 Mei 2014). Dengan demikian, hadirnya MEA diharapkan
akan mengurangi pengangguran karena akan membuka lapangan kerja baru dan
menyerap angkatan kerja yang ada saat ini untuk masuk ke dalam pasar kerja.
Adapun dampak negatif dari MEA, yaitu dengan adanya pasar barang dan jasa
secara bebas tersebut akan mengakibatkan tenaga kerja asing dengan mudah masuk
dan bekerja di Indonesia sehingga mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang
semakin ketat di bidang ketenagakerjaan. Saat MEA berlaku, di bidang
ketenagakerjaan ada 8 (delapan) profesi yang telah disepakati untuk dibuka,
yaitu insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi
medis, dokter gigi, dan akuntan (Media Indonesia, Kamis, 27 Maret 2014). Hal
inilah yang akan menjadi ujian baru bagi masalah dunia ketenagakerjaan di
Indonesia karena setiap negara pasti telah bersiap diri di bidang
ketanagakerjaannya dalam menghadapi MEA. Bagaimana dengan Indonesia? Dalam
rangka ketahanan nasional dengan tetap melihat RechtsVinding Online 3 peluang
dan menghadapi tantangan bangsa Indonesia di era MEA nantinya, khususnya
terhadap kesiapan tenaga kerja Indonesia sangat diperlukan langkah-langkah
konkrit agar bisa bersaing menghadapi tenaga kerja asing tersebut. Ada beberapa
hal yang perlu menjadi perhatian atau catatan bagi dunia ketenagakerjaan sebelum
saatnya negara kita benar-benar akan memasuki MEA.
Pertama, dari sisi peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan. Meskipun sumber hukum ketenagakerjaan di Indonesia terdapat
ketentuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan peraturan
pokok yang berisi pengaturan secara menyeluruh dan komprehensif di bidang
ketenagakerjaan. Hal inilah yang menjadi pegangan sebagai aturan main dunia
ketenagakerjaan di Indonesia saat memasuki MEA. Namun, apakah Undang-Undang
tersebut sudah melindungi pekerja terlebih saat akan memasuki MEA? Dengan
banyaknya perusahaan dan tenaga kerja asing yang akan masuk nanti, apakah
Undang-Undang ini juga akan melindungi pekerja Indonesia? Sebagai contoh, dalam
setiap orasi atau demo yang dilakukan oleh kalangan pekerja, penerapan sistem
kontrak dan outsourcing yang didasari oleh Undang-Undang ini dianggap telah
memperlemah posisi buruh karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, bahkan
kepastian tunjangan kesejahteraan lainnya sehingga pekerja/buruh meminta hal
tersebut untuk dihapus. Bahkan pemerintah seringkali dituding telah banyak
menghapus atau mengubah berbagai peraturan yang bersifat protektif demi
masuknya investasi ke negara Indonesia. Selanjutnya, dengan telah diuji
materilkannya beberapa kali Undang-Undang ini ke Mahkamah Konstitusi telah
mengakibatkan beberapa pasal yang telah diputus dalam uji materiil tersebut
sehingga mengakibatkan perlu segera ditindaklanjuti. Dengan telah dibatalkannya
beberapa Pasal seperti misalnya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 155 ayat
(2), dan Pasal 158, keberadaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengakibatkan Undang-Undang ini menjadi tidak utuh lagi
sehingga Undang-Undang tersebut memang layak untuk segera disempurnakan
kembali. Namun, perubahan atau penggantian Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Rencana revisi
Undang-Undang tersebut sebenarnya pernah terjadi tahun 2006, dan saat itu
pemerintah menarik kembali usulan revisi karena ada tarik-menarik kepentingan
yang cukup kuat antara kepentingan buruh dan pengusaha. Hal Ini pulalah yang
mengakibatkan rencana perubahan atau penggantian Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan
tersebut menjadi sulit karena kepentingan antara pekerja dan pengusaha sulit
mencapai titik yang ideal.
Kedua, dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja Indonesia.
Kompetisi SDM Antarnegara ASEAN merupakan hal yang pasti terjadi saat
terbukanya gerbang MEA nanti. Bila pekerja Indonesia tidak siap menghadapi
persaingan terbuka ini, MEA akan menjadi momok bagi pekerja Indonesia karena
akan kalah bersaing dengan pekerja dari negara ASEAN lainnya. Bagaimana
kesiapan SDM Indonesia menyambut MEA 2015 nanti? Berdasar data BPS, jumlah
angkatan kerja Indonesia perFebruari 2014 telah mencapai 125,3 juta orang atau
bertambah 1,7 juta dibanding Februari 2013. Namun, jumlah angkatan kerja masih
didominasi oleh lulusan SD kebawah yakni 55,31 juta, disusul lulusan sekolah
menengah pertama 21, 06 juta, sekolah menengah atas 18,91 juta, sekolah
menengah kejuruan 10,91 juta, Diploma I/II/II 3,13 juta dan universitas hanya
8,85% (Koran Sindo, 6 Mei 2014). Rendahnya kualitas pekerja Indonesia bila
dilihat dari tingkat pendidikan formal ini jelas sangat mengkhawatirkan. Dengan
sisa waktu yang sangat sempit ini, Pemerintah perlu mencari terobosan dan cara
singkat untuk meningkatkan ketrampilan dan kompetensi kerja bagi SDM kita yang
sesuai dengan kebutuhan pasar MEA nantinya dan bukan hanya terobosan yang
sifatnya normatif melalui Peraturan perundang-undangan. Perlindungan melalui
peraturan bukannya tidak penting, namun untuk saat ini diperlukan upaya riil
karena kita berpacu dengan waktu yang sempit. Salah satu upayanya bisa dengan
mengoptimalkan sarana prasarana yang ada baik dengan sering mengadakan workshop
ataupun seminar bagi angkatan kerja baru maupun pelatihan peningkatan kualitas
skill bagi angkatan kerja yang sudah ada. Sebagai perbandingan, di negara
Vietnam mulai memberikan pelatihan bahasa Indonesia bagi setiap tenaga kerjanya
menghadapi MEA. Dengan dimulainya MEA tentu akan ada masalah dalam komunikasi
karena bahasa dari tiap-tiap negara berbeda. Pengenalan bahasa negara ASEAN
lainnya atau minimal penguatan bahasa Internasional seperti bahasa Inggris kepada
pekerja atau masyarakat kita bisa dijadikan terobosan sebagai upaya persiapan menghadapi
MEA.
Ketiga, dari penegak hukum khususnya pengawas
ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan seharusnya dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa “Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban
pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan
penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan”. Dalam menghadapi MEA,
posisi pengawas ketenagakerjaan menjadi hal yang sangat penting dalam hubungan
industrial agar semakin kondusif dan sebagai pelindung bagi pekerja dalam menghadapi
persaingan global ini.Upaya persiapan yang harus segera dibenahi adalah kualitas
dan kuantitas tenaga pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan terhadap
penerapan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut.
Dari sisi kualitas, dengan adanya
perubahan sistem pemerintahan yang awalnya sentaralistik menjadi desentralistik
mengakibatkan kewenangan pemerintahan saat ini lebih banyak bertumpu pada
pemerintahan kabupaten/kota. Namun, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang
seharusnya menjadi pelindung bagi pekerja bisa dikatakan belum dapat menjalankan
fungsi sebagaimana mestinya dan mengetahui permasalahan tenaga kerja secara mendalam
karena seringkali latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja pengawas
ketenagakerjaan tersebut tidak mendukung. Hal ini diakibatkan pelaksanaan mutasi
pegawai yang seringkali kurang memperhatikan latar belakang pendidikan seseorang
saat akan melakukan mutasi.
Dari sisi kuantitas, berdasarkan
data yang didapat dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans),
jumlah pengawas ketenagakerjaan pada tahun 2013 tercatat sekitar kurang lebih 2.400
orang di Indonesia, dan para pengawas itu harus mengawasi sekitar 216.000
perusahaan di Indonesia. Sebaran pengawas ketenagakerjaan itupun hingga saat
ini baru menjangkau kurang lebih 300 kabupaten/kota dari kurang lebih sebanyak
500 jumlah kabupaten/kota yang ada. Hal ini sangat kurang ideal mengingat
disparitas yang terlalu jauh antara jumlah penegak hukum dengan jumlah
perusahaan yang harus diawasi. Dengan jumlah yang tidak berimbang antara tenaga
pengawas dan jumlah perusahaan, hal ini jelas mengakibatkan pengawasan
ketenagakerjaan menjadi tidak efektif karena kuantitas SDM pengawas
ketenagakerjaan yang belum sesuai dengan kebutuhan dilapangan. Untuk mengatasi
hal ini sudah seharusnya Pemerintah segera melakukan pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan serta menginventarisasi kebutuhan jumlah pegawai pengawas
ketenagakerjaan, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten kota sehingga
dapat mengantisipasi derasnya investasi yang akan masuk ke Indonesia saat
berlakunya MEA nanti.
Mempersiapkan peraturan perundang-undangan,
kualitas SDM pekerja Indonesia, dan pengawas ketenagakerjaan secara maksimal merupakan
beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi tantangan MEA. Tidak ada
kata terlambat untuk menyiapkan dan menerapkan strategi brilian untuk menghadapi
MEA melalui sejumlah upaya aksi nyata di tengah persiapan yang telah dilakukan oleh
Pemerintah, pengusaha, dan pekerja saat ini. Bahkan hari kebangkitan nasional pada
bulan Mei tahun ini harus dijadikan momentum bagi rakyat Indonesia dan generasi
penerus untuk mendapatkan lecutan semangat nasionalisme dan perjuangan tanpa
pamrih yang pernah dilakukan oleh para pejuang dan pahlawan bangsa ini demi
terciptanya sebuah kemerdekaan bangsa indonesia yang hakiki, sentosa, adil, dan
makmur tanpa harus tergerus oleh perkembangan zaman di negeri sendiri.
Komentar
Posting Komentar